Pontianak - Setiap selepas Ashar, ketika matahari tidak lagi bersinar terik, sebuah perahu kecil bergerak perlahan menyusuri perairan Desa Tanjung Saleh, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya.
Di perahu tersebut, seorang perempuan muda berkerudung biru dan menggunakan topi hitam menggenggam erat pengayuh sambil sesekali mencelupkannya ke air dan mendorongnya ke belakang agar perahu terus bergerak.
Di depan perempuan tersebut ada tiga buah kotak plastik berisikan tumpukan buku yang tersusun sesuai kategori bacaan.
Dengan senyumnya yang khas, perempuan tersebut melambaikan tangan kepada sekelompok anak-anak yang bermain di gertak (jembatan kecil) di tepian sungai. Anak-anak membalas lambaian itu dengan sorakan mengelu-elukan nama perempuan muda tersebut.
"Kak Badar..Kak Badar datang," anak-anak itu berteriak sambil berlari mendekati Siti Badariah, nama lengkap pejuang literasi dari Desa Tanjung Saleh itu.
Mereka kemudian bergegas memilih beberapa buku bacaan dari dalam kotak, kemudian bersama-sama membaca di atas gertak.
Perjalanan tersebut bukan sekedar rutinitas, Ia adalah perjuangan panjang seorang penggiat literasi yang selalu berkeyakinan bahwa membaca akan mengubah jalan hidup, bahkan di desa terpencil yang hanya bisa di jangkau oleh perahu.
Bagi Badariah, senyum anak-anak saat membaca buku menjadi kebanggaan tersendiri, sebuah cita-cita yang tumbuh tanpa rencana.
Ketika masih semester enam saat kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Badariah mengikuti program pengabdian kepada masyarakat di Desa Peniti, Kabupaten Mempawah. Di sana dirinya mendapatkan tugas sederhana, merapikan buku-buku perpustakaan desa tempatnya bertugas.
Di sana Badariah melihat bagaimana sebuah desa bisa hidup oleh bacaan, bagaimana susunan rak buku bisa menjadi jendela tempat anak-anak melihat dunia lebih luas dari halaman buku yang mereka baca.
Ketika pulang ke Tanjung Saleh, pengalamannya di perpustakaan Desa Peniti tersebut mengusik pikirannya. Dia bertanya-tanya, mengapa di desanya tidak memiliki ruang baca seperti di sana. Bagaimana anak-anak di Desa Tanjung Saleh bisa mengenal buku jika mereka tidak pernah melihatnya.
Pertanyaan yang memendam di pikirannya itu pun terjawab ketika sebuah momentum datang saat dirinya mengikuti sang ibu menghadiri pengajian di Kantor Desa Tanjung Saleh pada 2017.
Ketika masuk ke salah satu ruangan di kantor desa itu, Badariah merasa miris melihat rak buku tertata sangat rapi, bahkan terlalu rapi. Tidak ada jejak tangan anak-anak, apa lagi bekas lembaran buku yang pernah dibuka.
"Dari ruangan ini saya melihat buku yang rapi, bahkan masih ada yang terbungkus plastik, tanda belum pernah di baca," kata Badar saat ditemui di Tanjung Saleh, pertengahan November.
Dari situlah lahir gagasan untuk memindahkan buku-buku tersebut ke teras rumahnya, dengan harapan agar bukuitu bisa dibaca anak-anak dan siapa pun yang melewati rumahnya. Badar dan sahabat baiknya Maesura kemudian meminta izin kepada Kepala Desa Tanjung Saleh untuk mengadopsi buku-buku tersebut agar bisa lebih dekat dengan masyarakat.
Dengan menggunakan perahu, dia dan Maesura mengangkat buku tersebut dan memindahkannya di teras rumah, kemudian menambah beberapa tempelan motivasi agar menarik minat baca masyarakat.
Usaha mereka membuahkan hasil, karena pada hari pertama anak-anak ramai datang, dan pada hari ke dua semakin ramai. Namun memasuki minggu ke tiga, menjadi sepi, tidak ada lagi anak-anak yang datang menyentuh buku di rumahnya.
Kepahitan tersebut memupuskan semangat Badariah. Bahkan ketika kembali ke kampus, dia mendengar bisik-bisik tetangga yang mengatakan dirinya tidak lagi sesemangat dulu, tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dimulainya.
Perahu Baca Tansal
Gosip-gosip tetangga dan masyarakat tersebut seolah menampar Badariah, dan pada akhir pekan dia kembali pulang ke Tanjung Saleh, Ia bangkit, Ia semakin tertantang.
Setibanya di rumah, dia kembali mengumpulkan anak-anak, dia mencoba metode baru, mengajak anak-anak bermain terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan membaca bersama.
Namun, Tanjung Saleh merupakan desa yang di kelilingi perairan, terdiri atas tiga dusun, dan puluhan RT yang hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu. Tidak semua anak bisa datang ke teras rumahnya untuk membaca sehingga ini menjadi tantangan yang lebih besar bagi Badariah.
Dari permasalahan tersebut, tercetuslah ide, sebuah gagasan yang membawanya mampu berdiri tegak menyulut semangat membaca masyarakat Tanjung Saleh. Badariah pun memutuskan menggunakan perahu untuk membawa buku bacaan dan "menggiring bola" mendekatkannya kepada anak-anak.
Dengan perahu tersebut, Badariah membawa buku keliling, dari satu dusun ke dusun lainnya. Anak-anak yang awalnya takut mengira dirinya menjual buku, lama-lama menanti kedatangannya.
Dengan Perahu Baca tersebut, Badariah mengajak anak-anak untuk bermain, kemudian memperkenalkan buku dengan cara yang membuat mereka gembira, bukan terpaksa.
"Buku ini bukan buku tugas, tetapi buku ini adalah teman yang akan mengubah hidup kalian menjadi lebih baik," begitu yang selalu dikatakannya kepada anak-anak.
Sambil membawa buku dengan perahu, dirinya juga terus menata perpustakaan kecil di teras rumahnya, sehingga semakin sering anak-anak dan orang dewasa yang datang untuk membaca buku koleksi taman bacaannya.
Lama kelamaan, dari satu titik taman bacaan, bertambah menjadi dua, lalu tiga; dusun Parit Pangeran, Dusun Kampung Tengah, dan Dusun Patit Rembak. Ketiga taman bacaan masyarakat (TBM) tersebut berdiri tanpa bantuan besar, hanya gotong royong, tanah pinjaman, podok kecil dan semangat yang tidak pernah menyerah.
Sebagai perwakilan relawan Kampung Baca Tansal, Mulia merasa bangga bisa berpartisipasi dalam setiap program pada TBM tersebut
"Kami hadir dengan satu tujuan, yaitu berbagi dan berkontribusi untuk masyarakat. Menjadi volunter adalah kesempatan untuk belajar, menambah pengalaman dan meningkatkan kepekaan sosial," kata Mulia.
Sejumlah relawan di sana bukan hanya memberikan tenaga dan waktu, tetapi juga hati dan kepedulian, serta keyakinan bahwa bersama-sama bisa membuat perubahan yang berarti.
Qori, relawan lainnya, merasakan keberadaan KBT Desa Tanjung Saleh memberikan banyak manfaat bagi masyarakat setempat. Semua fasilitas buku, kegiatan dan perlombaan yang tersedia dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak TK hingga orang dewasa.
Antusiasme warga dalam mengikuti berbagai kegiatan yang rutin diselenggarakan di KBT sangat tinggi. Para orangtua juga sangat mendukung anak-anak mereka untuk turut serta dalam melestarikan koleksi buku yang ada di KBT dan ikut berpartisipasi dalam meningkatkan minat baca di desa ini.
"Bahkan banyak orang tua yang terlibat langsung sebagai relawan di KBT," kata Qori.
Bagi Qori, KBT adalah simbol kebangkitan literasi di Desa Tanjung Saleh.
Ini bukan sekedar tempat untuk membaca, tetapi juga menjadi pusat kegiatan edukatif yang melibatkan seluruh masyarakat. KBT telah berhasil menciptakan budaya membaca yang tidak hanya terbatas pada anak-anak tetapi juga melibatkan orang dewasa dan orang tua, yang semakin sadar pentingnya peran mereka dalam mendukung pendidikan anak-anak.
Semangat literasi dari pelosok
TBM Kampung Baca Tansal menjadi titik terang bagi warga yang jauh dari akses perpustakaan. Dengan koleksi buku beragam dari cerita anak-anak, komik, novel, hingga buku bacaan lainnya, TBM Kampung Baca Tansal menjadi ruang bagi setiap orang untuk membaca dan belajar.
Bagi Ketua Umum Forum Taman Baca Masyarakat (TBM) Nero Taopik Abdillah meski keberadaannya di pelosok Kalimantan Barat, sebuah taman bacaan masyarakat yang sederhana tapi penuh semangat terus berperan dalam meningkatkan literasi masyarakat.
Menurut Taopik, literasi di Kampung Baca Tansal bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi mencakup kemampuan lebih luas, memahami, menganalisis, hingga menerapkan informasi yang diperoleh.
"Di sini masyarakat tidak hanya belajar literasi baca dan tulisan tetapi juga literasi digital, finansial, sains, hingga literasi budaya dan kewarganegaraan. Sehingga, pengunjung TBM ini tidak hanya bertambah pengetahuannya, tetapi juga meningkat kemampuan kritisnya dalam menilai informasi," kata Taopik saat berkunjung ke Pontianak, belum lama ini.
TBM Kampung Baca Tansal adalah satu dari 3.215 TBM yang terdaftar di Forum TBM. TBM ini tidak hanya aktif menjalankan berbagai program yang diterima oleh masyarakat setempat, tetapi juga telah mendapatkan penghargaan di tingkat kabupaten, provinsi dan bahkan nasional.
Keberadaan TBM ini adalah inspirasi bagi TBM lainnya di Kalbar dan di seluruh Indonesia, karena keistimewaan TBM Kampung Baca Tansal terletak pada kreativitas program-programnya. TBM ini menghadirkan berbagai aktivitas seperti perahu baca, sebuah program unik yang membawa buku-buku ke daerah-daerah terpencil melalui jalur sungai.
Program lainnya seperti Ahad Cerdas dan Bimbingan Belajar memberikan bimbingan pendidikan kepada anak-anak dan remaja. TBM ini juga menghidupkan seni dan budaya dengan pelatihan tari dan memperkenalkan tari tradisional kepada anak-anak muda agar mereka tetap mengenal budaya.
"Kampung Baca Tansal adalah pusat pembelajaran informal yang terbuka untuk semua usia. Dengan komitmen luar biasa, TBM ini buka 24 jam, menjadi rumah belajar bagi siapa saja, kapan saja. Anak-anak remaja, hingga orang dewasa bebas datang dan belajar tanpa batasan waktu," kata Taopik.
Sebagai Ketua umum Forum TBM, Taopik sangat mengapresiasi dedikasi TBM Kampung Baca Tansal yang tanpa lelah mengabdi bagi literasi masyarakat.
Kepala Desa Tanjung Saleh Syarif Mukshin Alhiduan juga merasa bahwa TBM Kampung Baca Tansal telah menjadi tempat inspiratif bagi anak-anak dan masyarakat untuk mengeksplorasi dunia literasi.
"Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung keberadaan TBM ini, termasuk para relawan, donatur dan masyarakat yang selalu antusias berpartisipasi, kata Syarif Mukshin Alhiduan.
Demikian halnya dengan Kepala Dusun Kampung Tengah Iwansyah yang merasa bahwa TBM Kampung Baca Tansal menjadi inisiatif yang sangat berharga karena memberikan dukungan belajar bagi anak-anak yang memerlukan tambahan pemahaman dalam pelajaran sekolah.
Dengan adanya kampung Baca Tansal, proses belajar menjadi lebih terorganisir sehingga anak-anak dapat mengikuti kegiatan belajar lebih efektif dan menyenangkan.
Penghargaan
Setelah tiga tahun berjuang menggiatkan literasi masyarakat di Desa Tanjung Saleh, Kampung Baca Tansal menjelma menjadi contoh dan Siti Badariah diminta untuk berbagi pengalaman di depan para akademisi dan penggiat literasi lainnya di tingkat daerah hingga Nasional.
Sejumlah penghargaan dan pengakuan pun terus berdatangan, menorehkan nama Badariah sebagai salah satu penggiat literasi berpengaruh.
Salah satu penghargaan yang diterimanya dan berimplikasi besar terhadap program Kampung Baca Tansal adalah Apresiasi Satu Indonesia Award tahun 2021 tingkat Provinsi Kalbar Bidang Pendidikan dari Astra Internasional.
Panghargaan tersebut, membuat Siti Badariah semakin termotivasi untuk mengembangkan Kampung Baca Tansal dengan berbagai terobosan dan program yang tidak hanya menyasar anak-anak, tetapi juga orang dewasa.
Dengan adanya bantuan dari penyelenggara Satu Indonesia Award dan sejumlah pihak lainnya, saat itu Siti Badariah dan voulenter KBT menjalankan berbagai program baru, seperti Ahad Cerdas, pelatihan dasar komputer, kelas menulis kaligrafi hingga sekolah orang tua.
Pada kegiatan Ahad Cerdas, KBT menghadirkan narasumber inspiratif guna memberikan dorongan semangat kepada anak-anak. Lewat kegiatan ini mereka diperkenalkan dengan berbagai figur profesi agar dapat menumbuhkan mimpi serta motivasi anak-anak d,alam meraih cita-cita di dunia kerja.
Selain itu, ada juga aktivitas edukatif lainnya seperti membuat kerajinan, membaca cerita dan aneka kegiatan literasi yang dilaksanakan secara rutin seperti kegiatan Kemah Literasi dan Festival Pemuda Tansal yang selalu dilaksanakan setiap tahunnya.
Namun bagi Badariah, penghargaan terbesar bukanlah sebuah piagam, melainkan ketika melihat anak-anak yang dulu ia temui di sampan, kini ikut menjadi relawan baru di Kampung Baca Tansal. Generasi yang ia ajari membaca, kini ikut mengajari kelompok yang lebih kecil.
Sudah hampir delapan tahun Badariah melakoni perjuangan ini. Saat ini Ia bekerja sebagai Dosen di Universitas PGRI Pontianak. Di sela kesibukannya mengajar, dia juga terus menghidupkan tiga taman bacaaan dan tetap membawa buku dengan perahu setiap akhir pekan.
Oleh Rendra Oxtora/ANTARA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS